Penghargaan Sutradara Terbaik merupakan salah satu kategori bergengsi dalam Festival Film Indonesia (FFI) yang diselenggarakan sejak tahun 1955. Piala Citra, yang kerap dijuluki sebagai "Oscar-nya Indonesia", diberikan kepada para sineas terkemuka yang menunjukkan kecakapan luar biasa dalam mengolah cerita jadi karya film yang mengagumkan.banner-ads

Sejak tahun 1979, nama sutradara pemenang selalu diikuti oleh daftar nominasi sutradara terbaik lainnya. Ini nandain tingginya persaingan dalam meraih trofi bergengsi ini. Secara kebetulan, hampir semua nominasi didominasi oleh kaum cowok sampe tahun 2008. Meskipun beberapa sutradara cewek kayak Ida Farida dan Nia Dinata pernah masuk nominasi, mereka belum pernah memenangkan penghargaan ini.

Daftar Lengkap Pemenang Sutradara Terbaik dari Tahun 2000-an

1. 2004 - Rudy Soedjarwo (Ada Apa dengan Cinta?)

2000 - Rudy Soedjarwo (Ada Apa dengan Cinta?)SOURCE: seide.id

Rudy Soedjarwo adalah seorang sutradara film Indonesia yang mendapatkan pengakuan besar melalui karyanya dalam film "Ada Apa dengan Cinta?" pada tahun 2002. Film yang jadi fenomena budaya di Indonesia ini bercerita tentang perjalanan romantis dua remaja dari latar belakang sosial yang berbeda. Kesuksesan film ini nggak cuma membawa Rudy Soedjarwo ke dalam sorotan, tetapi juga menandai kebangkitan industri film Indonesia.

Rudy Soedjarwo disebut sebagai Pelopor Kebangkitan Film Indonesia. Rudy Soedjarwo dikenal sebagai salah satu sutradara yang mempelopori kebangkitan industri film Indonesia di awal 2000-an melalui film "Ada Apa dengan Cinta?".

2. 2005 dan 2007: Hanung Bramantyo (Brownies dan Get Married)

2005 dan 2007: Hanung Bramantyo (Brownies dan Get Married)SOURCE: Kompas

Baca Juga: Juni Ini, LAzone Membership Bisa Dapat AirPods!



Hanung dikenal dengan gaya penyutradaraan yang berani dan sering banget jadi kontroversial. Doi nggak ragu untuk mengangkat isu-isu sosial dan politik yang sensitif dalam karyanya, seperti toleransi beragama, hak-hak perempuan, dan ketidakadilan sosial.

Film "Brownies" dan "Get Married" karya Hanung Bramantyo memainkan peran penting dalam mengukuhkan dirinya sebagai sutradara papan atas di Indonesia. Karyanya pada film-film ini membuatnya meraih penghargaan Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI).

Brownies (2005): "Brownies" adalah film drama romantis yang mendapatkan pujian kritis atas cerita dan penyutradaraannya. Kesuksesan film ini menandai Hanung Bramantyo sebagai sutradara yang menjanjikan di industri film Indonesia.

Get Married (2007): "Get Married" adalah film komedi yang semakin memperkuat reputasi Hanung. Pendekatan unik film ini terhadap norma-norma sosial dan elemen komedinya mendapatkan respon positif dari penonton luas, menunjukkan fleksibilitas Hanung sebagai sutradara.

Kemenangan Hanung sebagai Sutradara Terbaik di FFI untuk kedua film ini menyoroti bakatnya dan kontribusi signifikan terhadap perfilman Indonesia. Prestasi ini berperan banget dalam kariernya, membawa kesuksesan dan pengakuan lebih lanjut di industri film.
2005 dan 2007: Hanung Bramantyo (Brownies dan Get Married)SOURCE: Wikipedia

3. 2008 dan 2018:  Mouly Surya (fiksi. dan Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak)

2008 - Mouly Surya (Fiksi. dan Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak)SOURCE: Femina

Film "Fiksi." merupakan karya yang mengantarkan Mouly Surya meraih penghargaan Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) pada tahun 2008.

Mouly Surya merupakan sutradara perempuan pertama yang mendapatkan Piala Citra ini. Film ini jadi tonggak penting dalam karier Mouly Surya, menegaskan bakat dan visinya dalam dunia perfilman Indonesia.

Film ini adalah sebuah thriller psikologis yang bercerita tentang Alisha, seorang wanita muda yang melarikan diri dari kenyataan hidupnya yang kelam dan menemukan pelarian di sebuah kompleks apartemen. Di sana, Alisha jadi terobsesi dengan kehidupan tetangganya yang misterius.

Film Fiksi ini dikenal dengan alur ceritanya yang kompleks dan penyutradaraan yang cemerlang, menunjukkan kemampuan Mouly dalam menciptakan atmosfer yang mencekam dan karakter yang mendalam.

"Fiksi." nggak hanya memukau penonton, tetapi juga mendapat pujian luas dari kritikus, jadikannya tonggak penting dalam karier Mouly Surya dan memperkuat posisinya sebagai salah satu sutradara terbaik di Indonesia.

Sementara Marlina Sipembunuh Dalam Empat Babak, menceritakan tentang Marlina, seorang janda di Sumba, yang membunuh sekelompok perampok yang menyerangnya. Film ini dibagi jadi empat babak: "Perampokan", "Perjalanan", "Pengakuan", dan "Kelahiran". Setiap babak meng-visualkan perjuangan Marlina mencari keadilan dan menghadapi konsekuensi dari tindakannya.

Dengan latar belakang pemandangan Sumba yang indah, film Marlina Sipembunuh Dalam Empat Babak ini mengeksplorasi tema kekerasan dan pemberdayaan perempuan, serta mendapatkan pujian internasional dan pengakuan luas.

4. 2009: Aria Kusumadewa (Identitas)

2009: Aria Kusumadewa (Identitas)
SOURCE: X

Aria Kusumadewa adalah sutradara Indonesia yang meraih penghargaan Piala Citra untuk Sutradara Terbaik melalui filmnya yang berjudul "Identitas".

Film ini mendapat pujian luas karena mengangkat tema-tema sosial yang mendalam dan menampilkan narasi yang kuat.

"Identitas" berkisah tentang kehidupan seorang penjaga mayat di sebuah rumah sakit yang menemukan kenyataan hidup melalui interaksinya dengan orang-orang yang datang ke rumah sakit tersebut.

Dengan penyutradaraan yang apik dan cerita yang menyentuh, Aria Kusumadewa berhasil memenangkan penghargaan bergengsi ini, menegaskan posisinya sebagai salah satu sutradara berbakat di Indonesia.
ALT: 2009: Aria Kusumadewa (Identitas)
SOURCE: IMDb

5. 2010: Benni Setiawan (3 Hati Dua Dunia Satu Cinta)

2010: Benni Setiawan (3 Hati Dua Dunia Satu Cinta)
SOURCE: Koleksi Pribadi Benni Setiawan

Benni Setiawan adalah salah satu sutradara dan penulis skenario ternama di Indonesia. Sosoknya dikenal dengan karya-karya yang menyentuh dan penuh makna.

Benni Setiawan jadi Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) tahun 2010 untuk film 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta. Film ini juga memenangkan berbagai penghargaan lainnya, termasuk Film Terbaik, Aktor Utama Terbaik, dan Aktris Utama Terbaik.

Film 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta mengisahkan tentang Rosid (Reza Rahadian), seorang pemuda Muslim yang terobsesi jadi penyair dan menjalani hidup dengan gaya santainya sendiri. Rosid berasal dari keluarga Muslim yang taat, namun memiliki pandangan yang lebih liberal terhadap tradisi.

Rosid jatuh cinta dengan Delia (Laura Basuki), seorang gadis Katolik yang juga seorang aktivis kampus. Meskipun mereka saling mencintai dan menghormati keyakinan satu sama lain, hubungan mereka menghadapi tantangan besar dari keluarga masing-masing yang nggak setuju hubungan antaragama ini.

6. 2011: Ifa Isfansyah (Sang Penari)

2011: Ifa Isfansyah (Sang Penari)SOURCE: Wikipedia

Ifa Isfansyah adalah sutradara dan produser film Indonesia yang dikenal dengan karya-karya berpengaruh seperti "Sang Penari" (2011), yang memenangkan Piala Citra untuk Film Terbaik. Lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini memiliki gaya bercerita visual yang kuat dan telah menerima berbagai penghargaan bergengsi, jadikannya salah satu figur penting dalam perfilman Indonesia.

Sang Penari (2011), yang diadaptasi dari novel "Ronggeng Dukuh Paruk" karya Ahmad Tohari. Ceritanya berfokus pada perjuangan Srintil (Prisia Nasution) dalam mencapai mimpinya di tengah latar belakang sosial dan politik Indonesia yang kelam, termasuk peristiwa Gerakan 30 September dan tindakan anti-komunis yang menyusul. Selain itu, film ini juga menyoroti hubungan cinta yang pahit antara Srintil dan Rasus (Nyoman Oka Antara), seorang pemuda desa yang kemudian jadi tentara.

 

2011: Ifa Isfansyah (Sang Penari)
SOURCE: FFI

7. 2012: Herwin Novianto (Tanah Surga... Katanya)

2012: Herwin Novianto (Tanah Surga... Katanya)SOURCE: Herwin Novianto

Herwin Novianto adalah sutradara film Indonesia yang dikenal atas karyanya "Tanah Surga... Katanya". Film ini dirilis pada 15 Agustus 2012 dan memenangkan empat penghargaan di Festival Film Indonesia 2012, termasuk kategori Film Terbaik dan Sutradara Terbaik.

Ceritanya berkisah tentang Hashim, seorang mantan sukarelawan dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia tahun 1965, yang hidup dengan kesepian di perbatasan Indonesia-Malaysia setelah istrinya meninggal. Film ini melukiskan perjuangan keluarga Hashim dalam menghadapi kesulitan hidup di perbatasan sambil tetap setia pada negara mereka.

Herwin Novianto dikenal sebagai sutradara yang berdedikasi banget dan teliti dalam proses produksi film. Untuk film "Tanah Surga... Katanya", Herwin melakukan survei lokasi secara mendalam sebelum memulai syuting, memastikan bahwa lokasi yang dipilih benar-benar sesuai dengan narasi film yang berlatar di perbatasan Kalimantan Barat dan Malaysia. Pendekatannya yang terarah dan penuh pertimbangan ini membantu menciptakan kualitas visual dan naratif yang kuat dalam film tersebut.

8. 2013: Rako Prijanto (Sang Kiai)

2013: Rako Prijanto (Sang Kiai)SOURCE: Ari Puji Waluyo

Rako Prijanto adalah sutradara Indonesia yang dikenal dengan karya-karyanya, termasuk film "Sang Kiai". Film ini dirilis pada tahun 2013 dan mendapatkan banyak penghargaan, termasuk Piala Citra untuk Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia.

"Sang Kiai" menceritakan tentang perjuangan KH Hasyim Asy'ari dan para santri dalam melawan penjajahan Jepang di Indonesia.

Rako Prijanto dikenal sebagai sutradara yang tegas dan detail dalam pekerjaannya, tapi bukan berarti galak. Doi sering banget fokus dan perfeksionis untuk mastiin setiap adegan sesuai sama visinya.  Pendekatan ini membantu menghasilkan karya-karya berkualitas tinggi seperti "Sang Kiai". Tapi, banyak juga yang menghargai profesionalismenya dan kemampuan untuk memotivasi tim di lokasi syuting.

9. 2014: Adriyanto Dewo (Tabula Rasa)

2014: Adriyanto Dewo (Tabula Rasa)SOURCE: infobdg

Adriyanto Dewo adalah sutradara Indonesia yang diakui memiliki kemampuan luar biasa dalam mengarahkan film. Salah satu karya terkenalnya adalah "Tabula Rasa" (2014), yang mendapatkan banyak pujian dan penghargaan. Film ini berhasil memenangkan 5 penghargaan dan mendapatkan 10 nominasi.

Dewo dikenal karena kemampuannya menangkap suasana dan emosi melalui kesederhanaan dan keheningan, yang terlihat jelas dalam adegan-adegan di "Tabula Rasa". Pendekatan sinematiknya yang unik dan peka terhadap detail membuatnya dianggap sebagai salah satu sutradara berbakat di industri film Indonesia.

"Tabula Rasa" adalah film yang menceritakan tentang seorang pemuda asal Papua bernama Hans, yang bermimpi jadi pemain sepak bola profesional. Namun, impiannya hancur setelah mengalami cedera.

Dalam keputusasaan, Hans pergi ke Jakarta dan bertemu dengan Mak, seorang pemilik rumah makan Padang. Di sana, Hans belajar tentang kehidupan, kuliner, dan menemukan kembali tujuan hidupnya melalui masakan. Film ini ngegambarin perjalanan emosional dan transformasi Hans melalui interaksi dengan Mak dan dunia kuliner Padang.

2014: Adriyanto Dewo (Tabula Rasa)SOURCE: Wikipedia

10. 2015 dan 2020: Joko Anwar (A Copy of My Mind dan Perempuan Tanah Jahanam)

2015 dan 2020: Joko Anwar (A Copy of My Mind dan Perempuan Tanah Jahanam)
SOURCE: Instagram

Joko Anwar dikenal dengan pendekatan penyutradaraan yang detail dan intens, mulai dari penelitian mendalam, kolaborasi erat dengan tim, selektif dalam pemilihan aktor, serta gaya visual yang kuat. Doi memberikan arahan aktor dengan detail banget dan aktif terlibat dalam proses pengeditan untuk memastikan setiap adegan sesuai visinya. Hasilnya, film-filmnya nggak cuma menghibur tetapi juga memiliki kualitas artistik yang tinggi.

"A Copy of My Mind" dan “Perempuan Tanah Jahanam” mengantarkan Joko Anwar sebagai sutradara terbaik di FFI 2015 dan 2020 karena keberhasilannya dalam menggabungkan eksperimen gaya yang unik, pengarahan yang detail meski dengan modal terbatas, serta kritik sosial yang mendalam. Film ini mendapatkan sambutan hangat di berbagai festival internasional, menunjukkan daya tarik global dan kualitas tinggi yang diakui.

Di 2024 ini, Joko Anwar ngerilis Series Netflix yang juga nggak kalah baru dan unik, yaitu Nightmare and Daydreams. Apakah series ini bisa ngebawa kesuksesannya kembali? 

11. 2016: Riri Riza (Athirah)

Riri Riza (Athirah)SOURCE: Kompas

Riri Riza adalah seorang sutradara Indonesia yang dikenal dengan karya-karyanya yang mendalam dan berpengaruh. Doi sering mengangkat tema-tema sosial dan budaya, serta dikenal memiliki gaya penyutradaraan yang realistis dan humanis.

Beberapa filmnya yang terkenal termasuk "Laskar Pelangi," "Ada Apa dengan Cinta?," dan "Gie." Riri Riza kerap berkolaborasi dengan produser Mira Lesmana, dan bersama-sama mereka telah menciptakan banyak film yang sukses dan diapresiasi, baik di dalam maupun luar negeri.

Gaya penyutradaraan Riri Riza sering kali menggabungkan narasi yang kuat dengan karakter yang mendalam, jadikannya salah satu sutradara terkemuka di Indonesia.

Film "Athirah" mengantarkan Riri Riza sebagai sutradara terbaik karena pengarahannya yang mendalam dan emosional, visual yang indah, serta narasi yang kuat. Film Athirah ini juga mendapatkan banyak penghargaan dan mengangkat tema sosial budaya Indonesia secara autentik, membuatnya diapresiasi banget di tingkat nasional dan internasional.
2016: Riri Riza (Athirah)
SOURCE: Cultura Magazine

12. 2017 dan 2022: Edwin (Posesif dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas)

2017 dan 2022: Edwin (Posesif dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas)SOURCE: ASRY SIHOMBING

Edwin adalah seorang sutradara Indonesia yang dikenal dengan gaya penyutradaraannya yang unik dan sering mengeksplorasi tema-tema yang nggak konvensional. Beberapa karyanya yang terkenal termasuk film "Babi Buta yang Ingin Terbang" dan "Posesif." Edwin dikenal karena pendekatannya yang artistik dan inovatif dalam bercerita, jadikannya salah satu sutradara berbakat di industri film Indonesia.

Edwin memenangkan penghargaan Sutradara Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) karena karyanya yang inovatif dan kualitas penyutradaraan yang tinggi. Doi pertama kali meraih penghargaan tersebut pada FFI 2017 melalui film "Posesif," yang mendapat pujian karena penggambaran hubungan remaja yang kompleks dan realistis.

Edwin kembali meraih penghargaan Sutradara Terbaik di FFI 2022 untuk film "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas," sebuah adaptasi novel yang dipuji karena narasi yang kuat dan visual yang memukau. Film ini juga memenangkan penghargaan Golden Leopard di Festival Film Internasional Locarno ke-74, mengukuhkan reputasi Edwin sebagai sutradara yang berbakat dan berpengaruh.

13. 2019: Garin Nugroho (Kucumbu Tubuh Indahku)

2019: Garin Nugroho (Kucumbu Tubuh Indahku)SOURCE: IMDb

Baca Juga: 8 Rekomendasi Film dan Series Netflix Terbaru Juni 2024



Film "Kucumbu Tubuh Indahku" karya Garin Nugroho dianggap bagus karena mengangkat tema identitas diri dan trauma dalam konteks budaya Indonesia yang konservatif. Cerita tentang Juno, seorang penari laki-laki yang mengekspresikan identitas femininnya, berhasil ngegambarin kompleksitas budaya Lengger dan konsep "warok" di Jawa. Visualnya memukau dengan penggunaan simbol dan metafora kuat, serta sinematografi yang mendalam. Penampilan aktor seperti Muhammad Khan juga mendapat pujian karena mampu menyampaikan emosi dan pergulatan batin karakter dengan sangat baik.

Selain itu, film ini mendapatkan pengakuan di berbagai festival film internasional, termasuk penghargaan di Venice's Orizzonti sidebar, menunjukkan kualitas globalnya. Garin Nugroho juga menyampaikan kritik sosial dan politik terhadap norma konservatif dan ke-nggak-adilan terhadap kelompok marjinal, jadikan film ini penting dalam perfilman Indonesia. Dengan tema mendalam, visual memukau, dan pesan sosial yang kuat, "Kucumbu Tubuh Indahku" berhasil meninggalkan kesan yang kuat di industri film.

Garin Nugroho memenangkan Piala Citra karena film ini. Film ini juga meraih penghargaan terbanyak di Festival Film Indonesia (FFI) 2019 dengan total delapan Piala Citra, termasuk kategori Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, dan beberapa kategori teknis lainnya. Film ini mendapat sorotan positif karena kualitasnya yang tinggi, relevansi sosial, dan penggambaran budaya yang mendalam.

Film-filmnya dikenal dengan estetika visual yang kuat, menggunakan simbolisme dan metafora untuk menyampaikan pesan yang lebih dalam. Doi juga mengadopsi pendekatan neorealis, menggunakan aktor non-profesional dan setting realistis, serta narasi yang kompleks dan puitis. Garin memanfaatkan teknologi digital sejak dini, memungkinkan inovasi dalam pengambilan gambar. Kombinasi elemen-elemen ini membuat karya-karyanya memukau secara visual dan kaya akan makna sosial.
2019: Garin Nugroho (Kucumbu Tubuh Indahku)
SOURCE: Wikipedia

14. 2021: Wregas Bhanuteja (Penyalin Cahaya)

2021: Wregas Bhanuteja (Penyalin Cahaya)SOURCE: Froyonion

Wregas Bhanuteja memenangkan Piala Citra untuk film "Penyalin Cahaya" (Photocopier). Film ini juga meraih penghargaan Piala Citra untuk kategori Film Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2021.

Gaya Wregas Bhanuteja dalam mengarahkan film "Penyalin Cahaya" (Photocopier) menonjol banget lewat eksplorasi tema sosial yang mendalam dan teknik visual yang kuat. Dia berhasil menggabungkan elemen-elemen budaya Indonesia dengan isu-isu kontemporer seperti privasi digital dan pelecehan seksual, menciptakan narasi yang kompleks dan penuh lapisan. Wregas memanfaatkan sinematografi yang ekspresif, sering menggunakan warna-warna muted untuk mencerminkan kondisi emosional karakter utamanya, Sur, yang diperankan oleh Shenina Cinnamon. Pendekatan puitis dan simbolisnya memberikan kedalaman pada cerita, sementara teknik pengambilan gambar yang mengikuti karakter utama menambah intensitas dan keterlibatan penonton dalam perjalanan emosional Sur.

15. 2023: Jeremias Nyangoen (Women from Rote Island)

2023: Jeremias Nyangoen (Women from Rote Island)SOURCE: Tempo

Jeremias Nyangoen adalah seorang sutradara. Doi dikenal atas karyanya dalam film "Women from Rote Island" yang memenangkan penghargaan Film Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2023.

Film "Women from Rote Island" menceritakan kisah Martha, seorang pekerja migran ilegal yang kembali ke kampung halamannya di Pulau Rote untuk menghadiri pemakaman ayahnya. Selama bekerja di perkebunan kelapa sawit di Malaysia, Martha mengalami kekerasan seksual yang meninggalkan trauma mendalam. Film ini ngegambarin perjuangan Martha dalam menghadapi trauma tersebut di tengah lingkungan yang tidak mendukung, serta stigma sosial yang menghalangi penanganan kesehatan mental.

Gaya Jeremias Nyangoen dalam menyutradarai film "Women from Rote Island" mendalam banget dan penuh empati terhadap isu-isu sosial dan budaya. Doi peduli banget pada isu kekerasan seksual dan trauma yang dialami oleh korban, seperti yang dialami oleh Martha, karakter utama film ini. Pendekatan Jeremias yang puitis dan reflektif tercermin dalam penggunaan momen-momen hening dan adegan simbolis yang ngegambarin perjuangan internal karakter utama, serta kecintaan Martha terhadap burung yang jadi simbol kekuatannya.

Selain itu, Jeremias hanya menggunakan aktor lokal dari Pulau Rote dan sekitarnya untuk menjaga keaslian budaya dan bahasa. Sinematografi yang indah dan simbolis, bekerja sama dengan sinematografer Joseph Christoforus Fofid, membantu penonton merasakan dunia Martha secara lebih mendalam. Melalui film ini, Jeremias nggak cuma menceritakan kisah individu tetapi juga mengadvokasi perubahan sosial, menyerukan kesetaraan gender dan keadilan bagi para penyintas kekerasan seksual.

A2023: Jeremias Nyangoen (Women from Rote Island)
SOURCE: Goodwork

Daftar ini membuktikan betapa kayanya talenta sineas di Tanah Air. Semoga ke depannya, lebih banyak lagi karya-karya brilian yang lahir dan menginspirasi generasi muda untuk turut mengembangkan industri film Indonesia.